Opini  

’’Penjajah Baru’’ Bernama Korupsi, Pungli, dan Suap

’’Penjajah Baru’’ Bernama Korupsi, Pungli, dan Suap
’’Penjajah Baru’’ Bernama Korupsi, Pungli, dan Suap

Tajuk Transparansi . . .

Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, prihatin atau tidak prihatin, kecewa atau tidak kecewa, bahkan marah atau tidak marah, bangsa dan negara Indonesia sudah menerima kenyataan pahit menghadapi ’’penjajah baru’’ bernama korupsi, pungutan liar (pungli), dan suap atau menyuap.

Dalam kamus bahasa Indonesia tipis sekali membedakan menyelewengan masalah keuangan karena kehebatan ’’penjajah baru’’ ini. Semua seperti sudah menyerah kalah sebelum berperang. Bahkan sampai-sampai ajaran agama dikalahkan karena menyatakan sulit mengalahkan ‘’penjajah baru’’ yang sudah mendapat stempel sebagai ’’budaya baru’’.

Situasi dan kondisi ini sangat berdampak pada kehidupan masyarakat yang sudah terseret pada kehidupan bersama ’’penjajah baru’’, hampir semua ruang gerak dan waktu selalu dikaitkan dengan tatanan ’’budaya baru’’ ini, sehingga gerakan model apa saja sebagai upaya untuk melakukan pencegahan terhadap korupsi, pungli, dan suap atau menyuap, hanya bergerak karena perintah atau amanat undang-undang.

Selebihnya, dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi justru menjalankan praktik melawan hukum yang sudah dalam ’’budaya baru’’ sudah dihalalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Bahkan lebih memperihatinkan lagi, ketika ada pelaku korupsi, pungli, dan suap atau menyuap, tertangkap tangan dalam operasi tangkap tangan (OTT) atau operasi apa saja dengan sebutan OTT, selalu dikaitkan dengan kecelakaan atau faktor kurang beruntung (apes, Jawa).

Tidak hanya itu para tersangka sudah menganggap seperti hal yang biasa, walaupun di mata masyarakat sangat memalukan bahkan dibenci. Mengingat ’’penjajah baru’’ itu senantiasa berpandangan mensejahterakan diri mereka sendiri, golongan mereka sendiri dan suka cita bahkan berfoya-foya mengabaikan kepentingan rakyat secara menyeluruh.

Sebagai referensi dalam kamus Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas menyebutkan bahwa korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan

Sedangkan penyuapan (atau suap saja) adalah tindakan memberikan uang, barang atau bentuk lain dari pembalasan dari pemberi suap kepada penerima suap yang dilakukan untuk mengubah sikap penerima atas kepentingan/minat si pemberi, walaupun sikap tersebut berlawanan dengan penerima. Dalam kamus hukum Black’s Law Dictionary, penyuapan diartikan sebagai tindakan menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta nilai dari suatu barang untuk mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang bertanggung jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum.

Penyuapan juga didefinisikan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 sebagai tindakan “memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum”; juga “menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum”.

’’Penjajah baru’’ bernama pungutan liar atau pungli adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Kebanyakan pungli ]dipungut oleh pejabat atau aparat, walaupun pungli termasuk ilegal dan digolongkan sebagai KKN, tetapi kenyataannya hal ini jamak terjadi di Indonesia.

Menurut hasil studi dari Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan United State Agency for International Development (USAID) pada tahun 2004, biaya pungli yang dikeluarkan oleh para pengusaha di sektor industri manufaktur berorientasi ekspor saja, pertahunnya bisa mencapai 3 triliun rupiah.

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.

Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur, namun sesungguh tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak.

Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat, namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Pratik seperti ini menjadikan korupsi menjadi abu-abu, sehingga akan memunculkan hukum suka atau tidak suka, mengadili atau tidak diadili, sesuai dengan penafsiran penguasa atas hukum itu sendiri. Apalagi jika bersama kroni-kroni kekuasaan dan kekuatan yang lain, maka korupsi, pungli dan suap atau menyuap sudah menjadi kebiasaan alias ’’budaya baru’’..

Sekedar mengingatkan sebelum jauh tergelincir pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang salah kaprah, serta terus menerus dihantui musibah dan marah bahaya, juga ketidaktenteraman jiwa karena memperoleh, mengumpulkan dan mengamalkan rejeki dari ’’penjajah baru’’ yang sudah mempunyai kekuatan stempel di mata penguasa sebagai ’’budaya baru’’, mari kita kembali pada pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama sudah jelas tegas disebutkan;

’’Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan’’ (djoko tetuko)