“Rekomendasi mereka kalau bisa dilakukan budidaya dengan format bebek peking dalam jumlah besar. Saya rasa dengan masyarakat kita yang hobi kulineran pasti bisa mandiri dengan menghasilkan bulu untuk industri shuttlecock,” kata Khofifah.
Permasalahan kedua yang juga harus menjadi perhatian pemerintah adalah masalah siklus penjualan shuttlecocks. Industri kampung ini selana tujuh bulan di musin hujan selalu produksi dengan sistem stok untuk demain di bulan Mei Agustus dan akhir tahun.
Siklus penjualaan shuttlecocks terbilang unik dan kurang dinamis. Karena demand hanya naik drastis di saat turnamen dan saat media gencar memberitakan tentang dunia bulutangkis.
“Pemerintah harus memberikan format pendampingan yang bisa mensupport keuangan yang stagnan pada usaha ini,” kata Khofifah.
Sebab selama tujuh bulan mereka produksi bisa laku habis dalam beberaoa hari baru di bulan Mei dan Agustus tersebut.
Sementara itu, Ngalimun, pemilik usaha UD Mustika dengan merk Heaven Shuttlecocks mengatakan suplai bahan baku memang menjadi permasalahan. Karena Mereka harus impor dari Taiwan dan diolah di Nganjuk.
“Yang putih dan memenuhu standar itu dari bebek peking itu. Yang lalu dari sini kita potong dengan mesin agar ujurannya seragam,” kata Ngalimun.
Menurutnya kelangkaan tenaga kerja memang benar terjadi. Ini karena yang dipekerjakan adalah ibu-ibu rumah tangga. Sedangkan untuk tenaga kerja muda mereka tidak sanggup memberikan gaji yang sesuai dengan UMK kabupaaten Nganjuk.
“Kami berharap bu Khofifah setelah jadi gubernur tidak melupakan kami dan kami diperharikan, skala usaha rumahan shuttlecock ini harus terus hidup,” kata Ngalimun.