Rumah Gadang Rumah Kondang, Tanah Minang Menata Pandang

Rumah Gadang Rumah Kondang, Tanah Minang Menata Pandang

’’Duduak samo randah duduak samo tinggi’’
KEINDAHAN alam dan kekuatan budaya Sumatera Barat dengan ciri khas rumah Gadang memang bukan rahasia lagi, rumah Gadang ibarat stempel buat bumi Minang, sehingga Masjid Raya Padang juga sedang dibangun dengan arsitektur rumah Gadang, hanya menara saja yang menandai bahwa itu masjid tempat beribadah umat Islam.

Arsitektur Masjid Raya Padang Sumatera Barat dengan khas rumah Gadang menunjukkan kekuatan budaya tanah Minang yang khas dan unik, juga punya filosofi serta model dan motif bangunan mempunyai kekuatan tersendiri, ibarat pantun,

’’Rumah Gadang Rumah Kondang, Tanah Minang Menata Pandang’’.
Artinya bahwa rumah Gadang sudah pasti kondang dan kesohor populer dengan khas Sumatera Barat, sedangkan tanah Minang menata Pandang, karena fisolofi hidup berkeluarga dari rumah gadang ini, dari kecil sudah ditanamkan hidup berpandangan jauh ke depan dengan model pendidikan ala surau (mushola) dan masjid.

Rumah Gadang dalam sejarah perkembangan di tanah Minang ada dua model berbeda, tentu saja dengan fislosofi berbeda pula. ’’Rumah Gadang sebagian besar dari suku Koto dan Piliang serta dari suki Bodi dan Caniago,’’ kata Suaita, Bagian Informasi, Museum Rumah Gadang Dinas Pariwisata, Kota Padang Panjang, saat ditemui, Kamis (8/2).

Menurut dia, rumah Gadang dari suku Koto dan Piliang mempunyai anjungan kiri dan kanan, sedangkan satu lagi rumah gadang yang dijadikan kantor pariwisata, rumahnya tidak punya anjungan dari suku bodi dan caniago, Rumah dengan model ada anjungan kiri dan kanan sistem pemerintahannya otokasi (disebut di museum Otograsi), sedangkan rumah Gadang dengan model tanpa anjungan sistem pemerintahannya bersifat demokrasi.

Dalam kamus besar dijelaskan bahwa sistem otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokratôr yang secara harfiah berarti “berkuasa sendiri” atau “penguasa tunggal”
Model rumah Gadagng dan sistem pemerintahan, kata Ita —panggilan akrab Suaita—, berpengaruh saat memilih pemimpin suku pada saat datuk meninggal dan harus ada pengganti dari keturunan masing-masing suku itu.

’’contoh dalam pemberian gelar datuk sistem suku Koto Piliang, ketika datuk meninggal, maka kemenakan langsung diangkat sebagai datuk,’’ katanya.

Sementara di suku Bodi dan Caniago, lanjut Ita, pada saat datuk meninggal, maka dipilih dulu kemenakan dalam suku yang dianggap paling pantas mengantikan datuk. ’’Bahkan kalau beberapa kemenangan dianggap pantas, maka dilakukan pemilihan secara terbuka dan demokrastis sekali,’’ tandas Ita.

Wartawan KoranTransparansi Djoko Tetuko ketika menikmati keindahan rumah adat yang menjadi simbol bagi masyarat Padang, Sumatra Barat. (kt/jt)
Wartawan KoranTransparansi Djoko Tetuko ketika menikmati keindahan rumah adat yang menjadi simbol bagi masyarat Padang, Sumatra Barat. (kt/jt)

Budaya Rumah Gadang
Ita menjelaskan, budaya kehiduapan dalam rumah gadang, 1 kamar di rumah gadang dihuni untuk satu keluarga, ukuran kamar di rumah gadang, ukurannya kecil, dimana setiap kamar hanya untuk ayah dan ibu serta anak balita, sedangkan anak laki-laki umur sepuluh tahun dulunya tidur di surau, di surau anak laki-laki mengaji ,belajar adat dan belajar silat.

’’Jadi, anak laki-laki ke rumah Gadang untuk makan dan tukar pakaian saja, siang ke sawah atau ke ladang membantu orang tua, malam tidur ke surau, kenapa anak laki-laki belajar di surau, karena untuk mendapat pendidikan,’’ kata Ita.

Budaya itu, menurut dia, karena pada jaman dulu, cuma orang yang punya duit atau orang kaya saja yang mampu sekolah di kota-kota besar, dan jaman itu sekolah belum sampai ke kampung, ’’Tetapi, kalau anak gadis tidur di anjungan sebelah kiri,’’ ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, kalau duduk menghadap keluar rumah Gadang. Anjungan sebelah kanan digunakan untuk duduk kalau ada rapat kemenakan duduk di bawah, pepatah adat berbunyi

’’Bajanjang naiak batanggo turun’’. Itu untuk model rumah Gadang dengan sistem pemerintahan otokrasi, sedangkan, di rumah Gadang model Bodi Caniago, kalau ada musyawarah datuk dan kemenakan duduk di lantai yang sama , pepatah adatnya berbunyi ’’Duduak samo randah duduak samo tinggi’’.

Kontruksi dan Rumah Milik Kaum
Kontruksi rumah Gadang dengan model bangunan agak miring dan tidak diperkuat dengan paku permanen tapi dipasak, ternyata kontruksi itu sangat kuat untuk menyesuaikan pada saat terjadi gempa bumi, sangat fleksibel kalau ada gempa bumi atau sejenis.

’’Kontruksi rumah Gadang dengan model tiangnya tidak lurus mengembang ke atas, dan jendelanya miring mengikuti bentuk tiang, kontruksi ini lebih tahan dari gempa bumi, pada tahun 2007 dan 2009 terjadi gempa, rumah gadang tidak rusak, rumah dari batu banyak yang rusak, kontruksi rumah gadang tidak dipaku tapi dipasak, kalau terjadi gempa tiang di atas bergerak fleksibel mengikuti gerak gempa, peribahasanya, ’’Condong nan indak mambaok rabah’’. Artinya miring tapi tak akan rubuh, kokoh rumah Gadangnya.

Sedangkan ada beberapa kamar-kamar kecil di rumah Gadang, tetapi tidak semua keluarga boleh ditinggal di rumah itu, ada ketentuan yang sudah turun temurun mengatur, siapa saja yang berhak dan boleh menempati, dan yang harus meninggalkan rumah Gadang.

Ita mengatakan, soal penataan kamar, kamar paling ujung kanan, diperuntukan untuk kamar pengantin, yang baru menikah tinggal. Ketentuannya kalau, ada yang menikah lagi, penghuni kamar paling ujung akan pindah ke kamar sebelahnya, seterusnya sampai kamar paling ujung, kalau sudah tinggal di kamar paling akhir atau paling kiri, maka keluarga tersebut sudah harus keluar rumah Gadang, membuat rumah biasa.

Namun, menurut Ita, biasanya keluarga yang sudah tidak mampu saja lama tinggal di rumah Gadang, tetapi kalau sudah mampu belum sampai kamar paling ujung kiri sudah keluar rumah, membuat rumah sendiri. ’’Bagi yang tidak mampu biasanya diboleh agak lama,’’ ujarnya.

Pada prinsipnya rumah Gadang ialah bukan milik keluarga, tapi milik kaum, ukuran kamar rumah gadang yang kecil, memberi motivasi bagi seorang suami atau seorang bapak, supaya giat bekerja untuk membuatkan rumah untuk anak dan istri,

Bahkan, budaya menjamu tamu di rumah Gadang, tamu harus duduk menghadap ke arah luar rumah, bukan ke dalam rumah yang mengetahui isi rumah. Filosofi yang terkandung dari rumah milik kaum ini, kalau si tamu menghadap ke dalam, nanti melihat kekurangan yang ada dalam rumah Gadang,

Oleh karena itu, tata cara itu untuk menghindari jangan sampai terjadi pergunjingan dan fitnah, apabila ada kekurangan tuan rumah, tetapi ruan rumah menghadap ke dalam rumah membesi isyarat kalau ada kekurangan dalam menjamu tamu.

’’Jadi kalau ada tamu harus menghadap keluar, sehingga yang dilihat pemandangan luar, hal merupakan keuntungan bagi tuan rumah, kalau ada makanannya kurang dalam jamuan makan, tuan rumah tidak perlu berteriak minta tambah sama orang dapur cukup memberi kode, apalagi dapur di rumah Gadang cuma satu, tapi ukurannya panjang, tungku masing keluarga berbeda-beda.
Ukiran Kucing Tidur.

Mengenai ukiran, menurut Ita, bukan sembarang diukir, semua mengandung makna dan ada artinya, karena falsafah ukiran rumah Gadang, ’’ Alam takambang jadi guru, cancang kayu jadi ukiran’’, Maksudnya orang Minang membuat ukiran berguru ke alam, kayu yang kecil tidak dibuang tapi dijadikan ukiran. Contoh ukiran kuciang lalok (kucing tidur ) mengambarkan sifat orang yang pemalas. Dengan harapan jangan ditiru.

Falsafah lain, ’’Itiak pulang patang melambang’’ Itu menunjukkan sifat disiplin dan keteraturan, ’’pucuak rabuang’’ mengambarkan dari kecil sampai tua berguna untuk orang lain, pepatah adatnya berbunyi ’’Ketek paguno Gadang tapakai ‘’.

Di depan rumah gadang berdiri 4 rangkiang ( lumbuang ). Pertama, Rangkiang sitinjau lauik tiangnyo ado 4 padinya digunakan untuk acara adat. Kedua, Rangkiang sitenggang lapa tiangnya ada 4 padi digunakan u tuk membantu fakir miskin dan untuk cadangan di musim paceklik

Ketiga, Rangkiang si bayau-bayau tiangnya ada 6 padi digunakan untuk makanan sehari-hari, penghuni rumah Gadang. Dan keempat, Rangkiang Harimau pahunyi koto , tiang ada 9 padi digunakan untuk pembangunan di kampung, misal untuk buat masjid , jalan dll. Rangkaian letak nya jauh dari rumah Gadang, kalau terjadi kebakaran, penghuni rumah Gadang tidak akan kebakaran karena padi masih terselamatkan, Rumah Gadang, kokoh, kondang, kontruksi kuat, kuasa Kaum. (jt)