Di Atas Awan

Di Atas Awan

Karya Joko Tetuko

Menulis sajak bukan menapak jejak
Menulis sajak bukan pula menjejak jamak
Menulis sajak bukan sekedar memindah otak
Menulis saja ada nikmat dan rahmat karena memang hanya untuk penikmat

Pagi, siang, dan malam ini sajak diajak-ajak bergaul tanpa jarak, menjadi tapak tilas karya para bapak, para ibu, para anak memasak sajak. Menyajikan tiada rasa tamak, kecuali selalu mengajak berbuat bijak

Sajak melayang layang memang berputar dari satu mata ke mata hati, dari daun telinga ke pori-pori menembus … menembus …menembus … mengubah negeri ini yang lama tergadaikan, kembali menjadi hak anak negeri

Kapal Udara

Terbanglah burung besi aduhai kekasih hati, tiada berhenti walau awan suci menghampiri dengan penuh tatapan simpati dan hati bak mutiara bersinar bersih

Terbanglah burung besi mengangkasa raya melintas belaian jiwa, menembus raga sukma bermega, tiada tahu kapan hendak lupa, datang pun saja karena memang sudah waktunya tiba.

Terbanglah burung besi, kapal udara kata para santri, mengitari langit sambil menari-nari, membawa jutaan harapan anak negeri

Terbanglah burung besi, membawa pesan dari suami dan istri, menyatukan nurani setelah sekian lama terpatri tanpa mampu menyapa diri

Terbanglah burung besi burung dengan sayap penuh arti, berhenti mati bersuara sejati seperti baru mendapat trophy.

Terbanglah burung besi
Terbanglah dan berhentilah di kota Padang, maafkan hamba ingin menebar janji walau hanya sekedar silaturrahmi.

Para Guru, Juga Para Kiai

Dari kecil sudah kudengar para guru, juga para kiai dari tanah ini, tanah Minangkabau tempat menata hati, membuka jati diri anak negeri setelah lama hanya membiarkan diri dalam sepi dan sepi di antara gemuruh ombak di lautan, di antara geledek dan petir di angkasa yang selalu melukis manis, juga di antara gunung gunung yang selalu memainkan musik gamelan.

Dari kecil aku bacakan doa-doa untuk para guru, juga para kiai dari Tanah Minangkau karena ilmu mereka menampar wajah, menusuk hati, menarik baik rambut kepala ini untuk selalu memuji Sang ILAHI, menanamkan kata hati tiada kehidupan abadi, kecuali hanya mengabdi kepada Sang Abdi.

Djoko Tetuko
Djoko Tetuko

Dari kecil aku merindukan para guru juga para kiai dari tanah Minangkabau yang terpatri di tanah suci Madinah Al Munawarah dan Makkah Al Mukarromah, nama besar Al Minangkabau dengan butir butir karya besar pula tentang sejarah jaman, tentang ajaran kemuliaan.

Mengalirlah aliran deras ayat-ayat suci, gemercik hadits juga sunnah menjadi siraman menyuci diri, bekal menghadap ILAHI karena dibarokatil ilmi para guru juga para kiai dari tanah Minangkau ini.

Para guru juga para kiai seperti berdiri di sini, menyaksikan jutaan anak negeri memberi sekedar bacaan ayat suci, karena sejak kecil ketika mulai belajar mengaji dan mendengar cerita para mereka, cerita para Sholihin, belum pernah pernah sedetik pun melupakan makna semua tentang ajaran agama, karena cerita mereka memang menurunkan rahmat. Membawa nikmat dan sepanjang jaman akan selalu diingat.

Di atas pesawat Garuda Jakarta-Padang, 7 Februari 2018