”Atraksi-atraksi baru kami harapkan semakin memperkaya dan memperkuat posisi Banyuwangi dalam peta persaingan pariwisata. Seperti Fishing Festival, akan kami padukan dengan paket-paket wisata memancing yang kini sedang tumbuh trennya. Juga Festival Cokelat untuk mengangkat kakao kami yang sudah rutin diekspor ke berbagai negara,” kata Anas.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata MY Bramuda menambahkan, pendekatan sport tourism tetap mewarnai pergelaran Banyuwangi Festival 2018. Mulai dari Banyuwangi Underwater Festival (4-6 April), International Ijen Green Run (8 April), Banyuwangi International BMX (30 Juni), dan Tour de Ijen (26-29 September).
”Khusus sport tourism ini memang kami mengambil pasar yang sangat segmented, tapi pasarnya tak banyak tergarap daerah lain. Secara konsisten ini mulai membuahkan hasil, di mana komunitas-komunitas BMX se-Indonesia, misalnya, rutin berlatih di Banyuwangi karena kami punya sirkut berstandar internasional,” papar Bramuda.
Ada juga berbagai atraksi fesyen, seperti Green and Recycle Fashion Week (24 Maret), Banyuwangi Fashion Festival (14 Juli), Banyuwangi Batik Festival (17 November), dan Festival Kebaya (5 Desember).
“Tidak hanya menggelar kemeriahan Banyuwangi juga menggelar festival untuk menumbuhkan empati sosial masyarakat seperti Festival Anak Berkebutuhan Khusus (10 Februari) dan Festival Anak Yatim (13-15 September),” ujar Bramuda.
Anas mengakui efektivitas sektor pariwisata dalam menggerakkan ekonomi lokal. Beragam program pengembangan pariwisata mampu mendorong peningkatan kunjungan wisatawan. Untuk turis domestik ke Banyuwangi, meningkat dari 497.000 (2010) menjadi 4,01 juta (2016). Adapun wisatawan mancanegara dari 5.205 (2010) menjadi 91.000 turis (2017) dengan pendapatan devisa Rp 546 miliar, berdasar perhitungan Kementerian Pariwisata.
Semua itu ikut mendorong peningkatan pendapatan per kapita warga Banyuwangi yang melonjak dua kali lipat dari Rp 20,8 juta (2010) menjadi Rp 41,5 juta per orang per tahun (2016). (ari)