Opini  

APBD Untuk Nelayan

APBD Untuk Nelayan
APBD Untuk Nelayan
Ilustrasi, Nelayan.

Utilitas pabrik surimi PT Kelola Mina Laut (KML) di Gresik, Jatim, dikabarkan kian merosot karena volume bahan baku yang masuk ke pabrik pengolah ikan terbesar di Jatim itu terus berkurang selama dua tahun terakhir. Kapasitas terpakai pabrik 9.000 ton per tahun, tetapi hanya terpakai 6.000 ton alias 67 persen tahun lalu. Kini, KML ancang-ancang setop produksi.

Revisi Dana Proyek
Jawa Timur sebagai salah satu sentra perikanan tangkap terbesar, diharapkan dapat mencarikan solusi untuk menyelamatkan sektor perikanan tangkap dan industri pengeolahan ikan yang berada di titik nadir. Dengan kekuatan anggaran Rp 712 miliar lebih tahun 2017, hendaknya fokus membiayai program yang terkait langsung dengan perbaikan ekonomi masyarakat pesisir khususnya nelayan.

Anggaran yang cukup besar itu layak direvisi dan seyogyanya dialihkan tidak lagi diperuntukkan pembangunan sejumlah proyek infrastruktur yang beberapa diantaranya menimbulkan kesan pemborosan. Dari struktur anggaran Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jatim sebagian besar dialokasikan proyek pembangunan dan penyempurnaan serta pemeliharaan pelabuhan perikanan (42,77%), penyempurnaan prasarana UPT Budidaya (8,71%), rehabilitasi mangrove dan terumbu karang (3,68%).

Sementara dana hibah yang diperuntukkan masyarakat pesisir (nelayan, pembudidaya, pengolah ikan, petani garam) dianggarkan Rp 84 miliar (14,92%) termasuk pengadaan 150 jaring milinium yang umumnya ditolak nelayan itu.

Apa yang digagas peserta Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Perikanan Tangkap yang diselenggarakan USAID untuk membantu masyarakat nelayan di Jawa Timur, perlu dijadikan acuan dan program DKP ke depan. Nelayan selain terpuruk akibat regulasi juga dianggap sangat rentan kemiskinan dengan perubahan iklim itu, membutuhkan program yang terkait langsung dengan kebutuhannya. Misal, di sentra perikanan tangkap dibangun coldstorage dilengkapi mesin pembekuan kapasitas besar. Hal ini untuk membantu menstabilkan harga ikan disaat paceklik.

Nelayan selama ini dianggap kurang efektif menangkap ikan karena tidak mempunyai kelengkapan peralatan yang memadai. Penggunaan fish finder dianggap usang dan sejak lama sudah ditinggalkan. Demikian pula peta lokasi penangkapan ikan yang disebarluaskan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hanya terdistribusi sampai di Pelabuhan Perikanan, sementara nelayan yang operasional di tengah laut tidak mendapatkan informasi tersebut. Disarankan solusinya dengan penggunaan telepon satelit yang langsung bisa menerima informasi dari satelit NOAA dan KKP secara langsung.

Banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan Pemprov Jatim untuk mencarikan alternatip usaha bagi nelayan tangkap yang kondisinya sedang terpuruk. Salah satu alternatip upaya yang direkom USAID adalah membuka usaha budidaya laut (marine culture) seperti budidaya rumput laut, kerapu, kakap, kekerangan, lobster. Budidaya lainnya seperti lele dan ikan tawar lainnya atau budidaya udang dan tambak diyakini bisa membantu nelayan