Kandidat Mulai Adu Siasat

Kandidat Mulai Adu Siasat
Kandidat Mulai Adu Siasat
Halim Iskandar (kiri), Khofifah Indar Parawansa (tengah), Saifullah Yusuf (kanan)

Namun yang menjadi tanda tanya adalah sikap diam Khofifah serta belum munculnya calon dari PDIP. Pengamat Politik Universitas Negeri Trunojoyo, Mochtar W Oetomo menilai, hal itu sebagai strategi. Menurutnya, kandidat lain sengaja diam untuk menunggu momentum. “Mereka ingin melihat Gus Ipul tergelincir lebih dulu, setelah itu mereka baru muncul,” tandasnya.

PDIP memang masih adem ayem. Bermodal 19 kursi di DPRD Jatim hingga kini belum memunculkan calon. Asumsi yang beredar, PDIP akan memberikan dukungannya untuk Khofifah dan berpasangan dengan calon wakil dari PDIP, bisa Abdullah Azwar Anas (bupati Banyuwangi) atau Edy Rumpoko (walikota Batu). Bergainingnya, jika menang, Khofifah cukup setahun di Jatim dan maju ke perterungan RI-2.

Tapi bisa jadi PDIP memajukan kader sendiri. Pilihannya Anas, Edy atau bahkan Tri Rismaharini (walikota Surabaya). Tapi politik itu dinamis, segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk di detik-detik akhir.

Sementara Pengamat politik, Suko Widodo memperkirakan, jika dilihat dari jumlah kursi di DPRD Jatim hanya ada tiga poros yang akan mengajukan calon dari jalur Parpol, yakni PKB, PDIP dan koalisi poros tengah (Gerindra, Golkar dan Demokrat).

Menurut Suko, kekuatan ketiga inilah yang diprediksi cukup kuat karena mampu menampung keinginan masyarakat Jatim yang plural. “Saya kira justru kekuatan ketiga inilah yang bisa menampung masyarakat yang plural ini. Di dalam banyak pengalaman, PDIP memang tapi ini lebih dari 50 persen ada ruang kosong,” ungkapnya.

Namun tetap tidak semudah bisa meraih suara besar di Pilgub hanya bermodal kursi di dewan. Tergantung bagaimana partai-partai ini menjalin kekuatan tersebut agar lebih dahsyat. “Jika ini bisa direbut berarti berpotensi untuk menang,” ujar Suko.

Menurutnya, untuk bisa menang dalam Pilgub calon harus menguasai dua kelompok besar masyarakat Jatim. Jawa timur itu multikultur dan didominasi oleh Nahdliyin atau biasa disebut kelompok hijau dan kelompok abangan. Kelompok inilah yang menjadi peta kekuatan riil dalam Pilgub.

Tradisi masyarakat Mataraman NU adalah tradisi komunal atau kebersamaan. Sehingga hal inilah yang seharusnya bisa dimanfaatkan para kandidat. “Tergantung dari effort kandidat untuk megisi ruang ruang komunalitas ini,” ujarnya.

Artinya, ketika idenya menancap di masyarakat itu, maka hasilnya akan beranak-pinak. Hal ini beda dengan tipologi masyarakat di Jakarta. Pola masyarakatnya memungkinkan calon independen bisa maju.

“Ini tidak bisa dilakukan di Jatim yang kekentalan komunialitasnya cukup kuat. Sehingga independen agak susah masuk,” ujar kepala Pusat Informasi dan Humas Universitas Airlangga (Unair)tersebut.(spm/roy)