Padahal menurut catatan, pembentukan adanya jabatan Wakil Direktur Utama di Pertamina merupakan usulan dari Dewan Komisaris pada Agustus 2016, karena Pertamina dinilai membutuhkan direksi dalam jumlah banyak karena menangani proyek-proyek skala internasional dari hulu hingga hilir.
“Mereka (Pertamina) perlu ada konsentrasi dalam hillirisasi dan megaproyek. Jika dihitung bisa mencapai sekitar Rp700 triliun,” ujarnya.
Ia membeberkan bahwa 2017 merupakan tahun yang sangat penting, banyak proyek yang harus diselesaikan mulai dari implementasi satu harga BBM, revitalisasi kilang Cilacap, peningkatan kapasitas kilang Balikpapan, kilang Dumai, “refinery” hingga pengembangan sumur-sumur migas di Indonesia.
Namun, kondisi belakangan tambah Rini, situasi kepemimpinan di Pertamina justru semakin tidak stabil tercermin ketika dalam pengambilan keputusan jika ada direksi yang tidak setuju maka ada yang jalan sendiri-sendiri.
“Padahal dalam penerapaan GCG (tata kelola perusahaan yang baik), bahwa keputusan direksi itu jadi tanggung jawab bersama, tidak bisa dipotong sendiri,” tegas Rini.
Pada kesempatan itu, ia juga menegaskan bahwa keputusan mengganti Dwi dan Ahmad, sebelumnya sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.
“Saya sengaja tidak mau komunikasi dengan keduanya (Dwi da Bambang), karena secar GCG dewan komisaris sudah melakukan fungsinya. Karakter masing-masing yang tidak bisa kita baca,” ujarnya.(ant)